Biografi KH. Yahya Cholil Staquf

24

bimbingan langsung Kiai Ali. Ia membeli kitab yang dikaji

dan langsung duduk di bagian paling depan. Seketika

setelah Kiai Ali datang, ia langsung ditegur karena masih

terlalu kecil untuk ikut pengajian tersebut dan ditambah

pula posisinya yang duduk di bagian paling depan.

Gus Yahya sangat menghormati sosok Kiai Ali. Selain

perbedaan generasi yang sangat jauh, Kiai Ali pada saat itu

mengemban posisi sebagai Rais Aam PBNU. Karena lahir

dan dibesarkan dalam tradisi pesantren tradisional, posisi

Rais Aam sangat tertanam dalam diri Gus Yahya sebagai

posisi yang sangat tinggi dalam struktur keorganisasian dan

kultural warga nahdiyin. Gus Yahya tak berani bercakap-

cakap di hadapan Kiai Ali dan hanya akan berbicara jika

ditanya.

Seperti santri lainnya, Gus Yahya menjalani hari-

harinya belajar di sana dengan metode pesantren

tradisional. Ia ikut serta dalam pembelajaran dengan

menggunakan metode ‘bandongan’ maupun ‘sorogan’ yang

dipimpin oleh Kiai Ali. Dua metode ini pada dasarnya sama:

kiai, guru, atau ustaz mengupas isi sebuah kitab sementara

para

santri

mendengar,

menyimak

dan

mencatat.

Perbedaannya terletak pada ukuran jumlah pesertanya.

Metode bandongan diikuti oleh jumlah santri yang cukup

banyak hingga ratusan sedangkan metode sorogan hanya

diikuti oleh maksimal sepuluh orang santri dan terdapat

sesi di mana santri satu-persatu maju menghadap kiai

untuk membacakan kitab yang dipelajari.

Dalam kajian model sorogan, Gus Yahya memiliki

pengalaman unik dengan Kiai Ali. Ia tak pernah dibiarkan

mempelajari sebuah kitab sampai tuntas. Sampai pada

tahap tertentu dalam kajian setiap kitab ia diminta